Monday, 5 November 2012

Makalah Hukum Bangunan


BAB I
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Hukum banyak sekali jenis dan turunannya, salah satunya adalah hukum bangunan dimana hukum yang mengatur tentang bangunan yang dibangun oleh manusia.
Maka dari itu dalam makalah ini penulis ingin sekali mengangkat tema tersebut diatas kedalam sebuah karya tulis yang penulis beri judul Hukum Bnagunan.

B.     Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan penulis bahas dalam makalah ini adalah :
1.   Pengertian Hukum Bangunan
2.   Aspek Hukum Bangunan
3.   Tujuan Peraturan Hukum Bangunan
4.   Tahap-tahap Pelelangan :
5.   Klasifikasi Pemborong
6.   Peraturan Jaminan dalam Perjanjian Pemborongan

C.     Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar para pembaca dapat mengetahui tentang hukum bangunan sehingga bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Hukum Bangunan
Menurut pendapat yang lazim dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan hukum bangunan adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang menyangkut pembangunan suatu bangunan.
Peraturan-peraturan tersebut dapat digolongkan kepada 2 golongan :
1.      Peraturan-peraturan  yang berkaitan dengan prosedur pelelangan.
Yaitu ketentuan-ketantuan yang berlaku sebelum terjadinya kontrak. golongan yang menyangkut peraturan pelelangan bangunan di Indonesia ditetapkan oleh penguasa, baik bangunan Pemerintah maupun swasta yang terjadi melalui pelelangan. Pengaturan ini disasari oleh keputusan Presiden tentang APBN. Khususnya mengenai pelaksanaan pemborongan bangunan dan lampirannya.
Di dalam peraturan tersebut diatur tentang pelelangan umum dan pelelangan terbatas beserta persyaratan-persyaratan yang berlaku bagi pemborong yang mengikuti pelanggan. Disamping itu Pemerintah juga menganjurkan tentang pengutamaan perusahaan setempat sebagai pelaksanaan pemborongan bangunan serta pengusahaan bagi golongan ekonomi lemah.

2.      Peraturan-peraturan yang menyangkut perjanjiannya.
      Dari ketentuan-ketentuan yang tergolong bangunan, yaitu peraturan yang menyangkut perjanjiannya didalam sertifikasi hukum perdata, perjanjian pemborongan bangunan tergolong pada perjanjian untuk melakukan pekerjaan yang diatur dalam bab yang mengatur tentang perjanjian khusus dalam KUHPer.
Di dalam KUHPer diatur mengenai ketentuan-ketentuan umum tentang perjanjian yang berlaku terhadap semua perjanjian, yaitu perjanjian-perjanjian jenis baru yang belum ada dalam peraturan perundang-undangan. Disamping itu didalam  KUHPer diatur perjanjian khusus, yaitu perjanjian : yang telah dilazimkan di pergunakan didalam praktek.

B.     Aspek Hukum Bangunan
Pada dasarnya bangunan gedung memegang peranan yang sangat penting sebagai tempat dimana manusia melakukan kegiatannya sehari-hari. Pengaturan bangunan gedung secara khusus dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“UU Bangunan Gedung”). Pengetahuan mengenai UU Bangunan Gedung ini menjadi penting mengingat hal-hal yang diatur dalam UU Bangunan Gedung tidak hanya diperuntukan bagi pemilik bangunan gedung melainkan juga bagi pengguna gedung serta masyarakat. Diatur dalam UU Bangunan Gedung, pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung.
Secara umum UU Bangunan Gedung mengatur tentang beberapa hal yaitu antara lain:
  1. Fungsi Bangunan Gedung
Dalam UU Bangunan Gedung diatur bahwa setiap bangunan gedung memiliki fungsi antara lain fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya, serta fungsi khusus. Fungsi bangunan gedung ini yang nantinya akan dicantumkan dalam Izin Mendirikan Bangunan (“IMB”). Dalam hal terdapat perubahan fungsi bangunan gedung dari apa yang tertera dalam IMB, perubahan tersebut wajib mendapatkan persetujuan dan penetapan kembali oleh Pemerintah Daerah.
  1. Persyaratan Bangunan Gedung
Persyaratan bangunan gedung dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung dimana diatur bahwa setiap bangunan gedung harus memenuhi kedua persyaratan tersebut.
1.      Yang masuk dalam ruang lingkup persyaratan administratif bangunan gedung ini yaitu:
    • persyaratan status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;
    • status kepemilikan bangunan gedung; dan
    • izin mendirikan bangunan gedung.
2.      Sementara itu, persyaratan teknis bangunan gedung dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua) yaitu meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung.
·         Ruang lingkup persyaratan tata bangunan yaitu meliputi:
a)        Persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, yaitu berhubungan dengan persyaratan peruntukan lokasi bangunan gedung yang tidak boleh mengganggu keseimbangan lingkungan, fungsi lindung kawasan, dan/atau fungsi prasarana dan sarana umum, serta ketinggian gedung;
b)       Arsitektur bangunan gedung; dan
c)        Persyaratan pengendalian dampak lingkungan, yaitu persyaratan pengendalian dampak lingkungan yang hanya berlaku bagi bangunan gedung yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. Persyaratan terhadap dampak lingkungan ini sendiri berpedoman pada undang-undang tentang pengelolaan lingkungan hidup yang mengatur tentang kewajiban setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup untuk wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
·         Persyaratan keandalan bangunan gedung, persyaratan ini ditetapkan berdasarkan fungsi masing-masing bangunan gedung yang secara umum meliputi persyaratan:
a)        keselamatan, yaitu berkenaan dengan persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatan, kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dengan melakukan pengamanan terhadap bahaya kebakaran melalui sistem proteksi pasif dan/atau proteksi aktif serta bahaya petir melalui sistem penangkal petir;
b)       kesehatan, yaitu berkenaan dengan persyaratan sistem sirkulasi udara, pencahayaan, sanitasi, dan penggunaan bahan bangunan gedung;
c)        kenyamanan, yaitu berkenaan dengan kenyamanan ruang gerak dan hubungan antar ruang, kondisi udara dalam ruang, pandangan, serta tingkat getaran dan tingkat kebisingan; dan
d)       kemudahan, yaitu berkenaan dengan kemudahan akses bangunan gedung, termasuk tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman bagi penyandang cacat dan lanjut usia, serta penyediaan fasilitas yang cukup untuk ruang ibadah, ruang ganti, ruangan bayi, toilet, tempat parkir, tempat sampah, serta fasilitas komunikasi dan informasi.


  1. Penyelenggaraan Bangunan Gedung
Penyelenggaraan bangunan gedung tidak hanya terdiri dari penggunaan bangunan gedung, melainkan juga meliputi kegiatan:
1.      Pembangunan, yang dilakukan oleh penyedia jasa konstruksi melalui tahapan perencanaan dan pelaksanaan dengan diawasi pembangunannya oleh pemilik bangunan gedung. Pembangunan bangunan gedung dapat dilaksanakan setelah rencana teknis bangunan gedung disetujui oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk IMB. Pembangunan bangunan gedung ini sendiri dapat dilakukan baik di tanah milik sendiri maupun di tanah milik pihak lain.
2.      Pemanfaatan, yang dilakukan oleh pemilik atau pengguna bangunan gedung setelah bangunan gedung tersebut dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi. Bangunan gedung dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi apabila telah memenuhi persyaratan teknis. Agar persyaratan laik fungsi suatu bangunan gedung tetap terjaga, maka pemilik gedung atau pengguna bangunan gedung wajib melakukan pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala terhadap bangunan gedung.
3.      Pelestarian, yang dilakukan khusus untuk bangunan gedung yang ditetapkan sebagai cagar budaya yang harus dilindungi dan dilestarikan.
4.      Pembongkaran, alasan-alasan bangunan gedung dapat dibongkar apabila bangunan gedung yang ada:
    • tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki;
    • dapat menimbulkan bahaya dalam pemanfaatan bangunan gedung dan/atau lingkungannya;
    • tidak memiliki IMB.
Selain mengatur tentang persyaratan bangunan gedung, UU Bangunan gedung juga mengatur mengenai hak dan kewajiban pemilik bangunan.
1.      Pemilik bangunan gedung mempunyai hak yaitu antara lain:
    • melaksanakan pembangunan bangunan gedung setelah mendapatkan pengesahan dari Pemerintah Daerah atas rencana teknis bangunan gedung yang telah memenuhi persyaratan;
    • mendapatkan surat ketetapan serta insentif untuk bangunan gedung dan/atau lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan dari Pemerintah Daerah;
    • mengubah fungsi bangunan setelah mendapat izin tertulis dari Pemerintah Daerah;
    • mendapatkan ganti rugi apabila bangunannya dibongkar oleh Pemerintah Daerah atau pihak lain yang bukan diakibatkan oleh kesalahannya.
2.      Pemilik bangunan gedung mempunyai kewajiban yaitu antara lain:
    • melaksanakan pembangunan sesuai dengan rencana teknis bangunan gedung;
    • memiliki IMB;
    • meminta pengesahan dari Pemerintah Daerah atas perubahan rencana teknis bangunan gedung pada tahap pelaksanaan bangunan.
3.      Pemilik dan pengguna bangunan gedung mempunyai hak yaitu antara lain:
    • mengetahui tata cara atau proses penyelenggaraan bangunan gedung;
    • mendapatkan keterangan tentang peruntukan lokasi dan intensitas bangunan pada lokasi dan/atau ruang tempat bangunan akan dibangun;
    • mendapatkan keterangan tentang ketentuan persyaratan keandalan dan kelayakan bangunan gedung;
    • mendapatkan keterangan tentang bangunan gedung dan/atau lingkungan yang harus dilindungi dan dilestarikan.
4.      Pemilik dan pengguna bangunan gedung mempunyai kewajiban yaitu antara lain:
    • memanfaatkan serta memelihara bangunan gedung sesuai dengan fungsinya secara berkala;
    • melengkapi petunjuk pelaksanaan pemanfaatan dan pemeliharaan bangunan gedung;
    • membongkar bangunan gedung yang telah ditetapkan dapat mengganggu keselamatan dan ketertiban umum serta tidak memiliki perizinan yang disyaratkan.
  1. Peran Masyarakat
Sebagai bagian dari pengguna bangunan gedung, dalam UU Bangunan Gedung juga mengatur mengenai peran masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung yang mencakup:
1.      pemantauan penyelenggaraan bangunan gedung;
2.      memberi masukan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis untuk bangunan gedung;
3.      menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepada instansi yang berwenang terhadap penyusunan rencana tata bangunan, rencana teknis bangunan gedung dan kegiatan penyelenggaraan yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan;
4.      melaksanakan gugatan perwakilan terhadap bangunan gedung yang mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan umum.
  1. Sanksi
Berkenaan dengan sanksi dalam hal adanya pelanggaran atas UU Bangunan Gedung, pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. Yang masuk dalam ruang lingkup sanksi administratif yaitu dapat diberlakukan pencabutan IMB sampai dengan pembongkaran bangunan gedung serta dapat dikenakan sanksi denda maksimal 10% (sepuluh persen) dari nilai bangunan yang sedang maupun telah dibangun. Sedangkan sanksi pidana yang diatur dalam UU Bangunan Gedung ini dapat berupa sanksi kurungan penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun penjara dan/atau pidana denda paling banyak 20% (dua puluh persen) dari nilai bangunan gedung jika karena kelalaiannya mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.

C.     Tujuan Peraturan Hukum Bangunan
Arti pentingnya pengaturan perjanjian-perjanjian khusus ini didalam undang-undang mempunyai 2 alasan :
1.       Karena didalam praktek dalam perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak sering tidak mengatur mengenai akibat-akibat hukum yang timbul kalau ada secara sumir pengaturannya.
Akibat yang seringterjadi dalam pelaksanaan perjanjian sering muncul masalah-masalah yang tidak terjawab oleh ketentuan kontrak.
2.       Keputusan umum menghendaki bahwa dalam hal-hal tertentu kebebasan berkontrak yang diberi oleh para pihak perlu dibatasi, yaitu dengan jalan memberi ketentuan-ketantuan atau aturan-aturan yang bersifat memaksa (dwinger recht) bagi perjanjian-perjanjian khusus tertentu.
Selain itu terhadap perjanjian-perjanjian yang mengandung resiko didalam Undang-undang/KUHPer dikenal adanya bentuk-bentuk perjanjian standart. Hal demikian dimaksudkan untuk menjamin adanya pemasukan kewajiban secara baik bagi kedua belah pihak.
Beberapa kegiatan yang dilakukan sebelum perjanjian pemborongan bangunan dibuat yang dikenal dengan prosedur pelelangan. Prosedur pelelangan ini dimulai dengan pemberitahuan/pengumuman sampai pelulusan pelanggan.
D.    Tahap-tahap Pelelangan :
  1. Pemberitahuan atau pengumuman secara umum/terbatas tentang adanya pelelangan kemudian diikuti dengan penjelasan mengenai pekerjaan tersebut sesuai dengan bertex dan persyaratan-persyaratan pekerjaan.
Pengumuman adanya pelelangan umum/terbatas memuat petunjuk :
1.      Dimana bestek harus diambil,
2.      Dimana tentang pekerjaan akan disampaikan yang memungkinkan adanya penambahan dan perubahan bestek yang telah disusun,
3.      Dimana tempat lokasi proyek/pekerjaan,
4.      Dimana tempat pendaftaran dan batas waktu pendaftaran,
5.      Dimana dan kapan sat pelelangan diadakan.
Terhadap pekerjaan-pekerjaan yang memungkinkan adanya perubahan2 pada bestek biasanya disusun ditentukan bahwa pada pengumuman pelelangan harus memuat hal-hal sebagai berikut :
1.      Nama instansi yang akan mengadakan pelelangan.
2.      Uraian singkat mengenai pekerjaan yang akan dilaksanakan.
3.      orang yang akan diberi syarat-sayarat beserta pelelangan.
4.      tempat, hari dan waktu untuk memperoleh dokumen lelang dan keterangan-keterangan lainnya.
5.      tempat, hari dan waktu untuk diberikan penjelasan mengenai dokumen lelang dan kekurangan-kekurangan lainnya.
6.      tempat, hari dan waktu pelelangan akan diadakan.
7.      temapt, hari dan batas waktu penyampaian surat penawaran
8.      alamat kemana surat penawaran harus disampaikan.

  1. Persyaratan-persyaratan prakwalifikasi, kwalifikasi dan klasifikasi terhadap pemborong.
  2. Pemenuhan jaminan yang diwajibkan dalam pemborongan  bangunan seperti :
-              Jaminan tender
-              Jaminan pelaksana
-              Jaminan uang muka
-              Jaminan pemeliharaan
-              Jaminan pembangunan-pembangunan, kontrak, garansi.
-              Pencairan jaminan.
  1. Pelelangan
-              Pelelanmgan umum
-              Pelelangan terbatas
-              Cara menentukan pelelangan

E.     Klasifikasi Pemborong
Dalam prosedur pemborong bangunan setelah adanya pemberitahuan kepada pemborong baik dari undangan/pengumuman, maka sebelum ikat penawaran/pelelangan baik umum atau terbatas maka pemborong disyaratkan prakulifikasi terlebih dahulu.
Persyaratan prakualifikasi bertujuan untuk :
Memberi penilaian terhadap pemborong mengenai kemampuan/mutu pemborong.
Prakualifikasi disyaratkan khusus bagi pemborong yang ikut serta dalam penawaran, pelelangan pemborongan bangunan.
Cara penilaian dilakukan dengan pengisian kuuisioner yang harus diisi oleh pemborong yang membuat syarat-syarat tertentu.
Berdasarkan Kepres APPN khususnya tentang pemborongan bangunan ditentukan syarat kualifikasi yang harus dipenuhi oleh pemborong.
Unsur-unsur disyaratkan untuk lulus dalam prakualifikasi adalah sebagai berikut :
  1. Adanya akta pendirian perusahaan
  2. Adanya surat izin usaha yang masih berlaku.
  3. Mempunyai NPWP
  4. Mempunyai alamat yang sah, nyata, jelas
  5. Referensi bank
  6. Mempunyai kemampuan modal usaha.
  7. Berada di keadaan mampu dan tidak dikatakan pailit
  8. Mempunyai referensi pekerjaan untuk bidangnya, maka diprakuasifikasikan.
·         Pimpinan perusahaan tidak sebagai PNS
·         Syarat-syarat  golongan pemborong/rekanan
  1. Pemberian kelonggaran bagi pemborong/rekanan golongan lemah berupa pemberian bobot yang lebih tinggi kriteria pemberian prakualifikasi.

Pernyataan lulus prakualifikasi berlaku jangka waktu 1 tahun dan dapat diperpanjang selama 1 tahun.



F.      Peraturan Jaminan dalam Perjanjian Pemborongan
1.      Jaminan Penawaran (Bid Bond)
Jaminan Penawaran/ jaminan tender/ jaminan pelelangan diperlukan apabila rekanan mengikuti pelelangan proyek dengan nilai proyek di atas Rp. 50 Juta. Maksud diadakan jaminan penawaran agar rekanan yang mengikuti pelelangan betul-betul rekanan yang bonafid. Di dalam praktek, biasanya jaminan sudah ditentukan besarnya dengan sejumlah uang tertentu yang besarnya berkisar antara 1% sampai dengan 3% dari perkiraan harga penawaran.
Surat Jaminan penawaran yang habis waktunya sebelum pelelangan diumumkan, harus diperpanjang lagi sebab kalau tidak rekanan dianggap gugur. Surat jaminan penawaran akan segera dikembalikan apabila rekanan kalah dalam pelelangan dengan jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari setelah calon pemenang pelelangan ditetapkan. Surat jaminan penawaran akan menjadi milik negara apabila rekanan mengundurkan diri setelah memasukkan dokumen penawaran dalam kotak pelelangan. Demikian juga surat jaminan penawaran akan jatuh pada negara apabila rekanan yang menang mengundurkan diri, maka surat jaminan penawaran akan ditahan oleh pemberi tugas.

2.      Jaminan Pelaksanaan (Performance Bond)
Jaminan Pelaksanaan tujuannya untuk menjamin pelaksanaan dari proyek. Bagi rekanan yang menang dan tidak mengundurkan diri, maka sebelum menandatangani surat perjanjian pemborongan/ kontrak di atas Rp. 50 Juta maka rekanan harus menyerahkan surat jaminan pelaksanaan sebesar 5% dari nilai perjanjian pemborongan/ kontrak.
Pada saat surat perjanjian pelaksanaan diterima, maka surat penawaran yang ditahan akan dikembalikan kepada rekanan yang bersangkutan. Surat jaminan pelaksanaan akan menjadi milik negara apabila rekanan tidak melaksanakan pekerjaan/ penyerahan barang/ proyek dalam waktu yang telah ditetapkan. Surat Perjanjian pelaksanaan dikembalikan kepada rekanan yang bersangkutan setelah pelaksanaan pekerjaan/ penyerahan barang/hasil pekerjaan telah sesuai dengan surat perjanjian pemborongan/ kontrak, sering disebut dengan istilah penyerahan pertama.


3.      Jaminan Uang Muka (Prepayment Bond)
Dalam surat perjanjian pemborongan/ kontrak dapat dimuat mengenai pembayaran uang muka sebesar 30% bagi rekanan golongan bukan ekonomi lemah. Mengenai pembayaran uang muka biasanya sebelumnya dimuat dalam dokumen lelang.
Untuk memperoleh uang muka tersebut rekanan harus menyerahkan jaminan uang muka yang nilainya sekurang-kurangnya sama dengan besarnya uang muka. Uang muka harus sepenuhnya digunakan bagi pelaksanaan proyek yang akan dikerjakan.
Pengembalian/ pelunasan uang muka diperhitungkan berangsur secara merata pada tahap-tahap pembayaran (termijn) sesuai dengan surat perjanjian pemborongan/ kontrak dengan ketentuan bahwa uang muka tersebut selambat-lambatnya harus telah lunas pada saat pekerjaan mencapai prestasi 100%. Sebagai contoh pelunasan uang muka sebagai berikut: Jika rakanan memperoleh uang muka sebesar 20%, sedangkan tahap pembayarannya dalam kontrak ditetapkan: Tahap kesatu:20%, kedua: 30%, ketiga: 25%, keempat: 20%,dan terakhir: 5%. Pelunasan uang muka pada sistim pembayaran diatas dapat diterangkan berikut ini (lihat tabel 1).
                    Tabel 1.  Pelunasan Uang Muka melalui Tahapan Pembayaran (Termijn).
Prestasi
Tahap Pembayaran
Pembayaran
(00%)
20% (20%)
50% (30%)
75% (25%)
100% (25%)
100% (00%)
Uang muka 20% x 100%
I.   20%   20% - 20%x20% = 20% - 4%
II.  30%   30% - 30%x20% = 30% - 6%
III. 25%   25% - 25%x20% = 25% - 5%
IV. 20%   20% - 25%x20% = 20% - 5%
V.   5%      5% - 0%
= 20%
= 16%
= 24%
= 20%
=15%
=  5%
       100%
     100%
         100%

Pelunasan uang muka selain dengan secara merata pada tahap-tahap pembayaran sesuai dengan kontrak, dapat juga rekanan mempercepat pelunasan uang muka yang diterimanya, misalnya sekaligus dilunasi pada tahap pertama.  Jika uang muka tidak dilunasi pada saat pekerjaan mencapai prestasi 100% atau pada penyerahan pertama, maka surat jaminan uang muka menjadi milik negara.


4.      Jaminan Pemeliharaan (Maintenance Bond)
Pada waktu penyerahan pertama/ pekerjaan telah mencapai 100%, rekanan baru menerima pembayaran 95% dari nilai kontrak, sedangkan sisanya sebesar 5% masih ditahan pimpro dengan maksud agar rekanan dalam masa pemeliharaan wajib melaksanakan perbaikan-perbaikan terhadap kekurangan-kekurangan dari pekerjaan.
Yang dimaksud dengan masa pemeliharaan adalah masa dari penyerahan pertama sampai dengan penyerahan kedua. Apabila rekanan menginginkan 100% pembayran harga borongan pada waktu penyerahan pertama, maka rekanan harus menyerahkan surat jaminan pemeliharaan yang besarnya 5% dari harga kontrak/ borongan.
Surat jaminan pemeliharaan jatuh pada negara bila rekanan tidak melaksanakan kewajibannya, sedangkan surat jaminan pemelihaan akan dikembalikan kepada rekanan apabila rekanan telah melaksanakan kewajibannya dengan baik sampai penyerahan kedua maka surat jaminan pemeliharaan dikembalikan kepada rekanan.


BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat penulis simpulkan bahwa Hukum bangunan adalah Ilmu yang mempelajari pelaksanaan pelaksanaa bangunan ruang lingkupnya seluruh kegiatan pembangunan yang di lakukan pemerintah khusus bangunan itu. Peraturan-peraturan tersebut dapat digolongkan kepada 2 golongan yaitu Peraturan-peraturan  yang berkaitan dengan prosedur pelelangan dan Peraturan-peraturan yang menyangkut perjanjiannya.
Pada dasarnya bangunan gedung memegang peranan yang sangat penting sebagai tempat dimana manusia melakukan kegiatannya sehari-hari. Pengaturan bangunan gedung secara khusus dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“UU Bangunan Gedung”).
Jaminan dalam Perjanjian Pemborongan dipandang dari sudut keamanan pemilik proyek ternyata masih mengandung kelemahan terhadap perlindungan pihak pemilik proyek. Kelemahan tersebut dikarenakan besaran jaminan (sesuai aturan yang berlaku) masih belum mewakili sebagai “jaminan”, atau tidak proporsional (relatif kecil) bila dibandingkan dengan total nilai proyek yang dijamin.
      Sebagai upaya untuk memperbaiki praktek jasa konstruksi, terutama dalam memperbaiki perlindungan terhadap pihak pemilik proyek yang sering dirugikan, perlu dilakukan penyesuaian besaran jaminan terhadap prosentase nilai proyek.

B.     Saran
Semua kegiatan yang memiliki dasar hukum harus kita taat dan aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari agar tidak terkendala oleh jebakan-jebakan hukum yang tidak kita sadari.

DAFTAR PUSTAKA


1.      Djumaldi, “Dasar-Dasar Hukum Dalam Proyek dan Sumber Daya Manusia”, Renaka Cipta, Yogyakarta, 1995.

2.      Keputusan Presiden nomor  16 Tahun 1994

3.      Undang-Undang No 7 Tahun 1992

4.      Undang-Undang Jasa Konstruksi No. 18 Tahun 1999


No comments: