BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan
atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan
dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak,
sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap
kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara
dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi
penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan
politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Hukum banyak
sekali jenis dan turunannya, salah satunya adalah hukum bangunan dimana hukum
yang mengatur tentang bangunan yang dibangun oleh manusia.
Maka dari itu dalam makalah ini penulis ingin sekali
mengangkat tema tersebut diatas kedalam sebuah karya tulis yang penulis beri
judul Hukum Bnagunan.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan
yang akan penulis bahas dalam makalah ini adalah :
1. Pengertian Hukum Bangunan
2. Aspek Hukum Bangunan
3. Tujuan Peraturan Hukum Bangunan
4. Tahap-tahap Pelelangan :
5. Klasifikasi Pemborong
6. Peraturan Jaminan dalam Perjanjian
Pemborongan
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar para
pembaca dapat mengetahui tentang hukum bangunan sehingga bisa diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Bangunan
Menurut pendapat yang lazim dapat kita simpulkan bahwa
yang dimaksud dengan hukum bangunan adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang
menyangkut pembangunan suatu bangunan.
Peraturan-peraturan tersebut dapat digolongkan kepada 2 golongan :
1. Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan prosedur pelelangan.
Yaitu ketentuan-ketantuan yang berlaku sebelum
terjadinya kontrak. golongan yang menyangkut peraturan pelelangan bangunan di Indonesia
ditetapkan oleh penguasa, baik bangunan Pemerintah maupun swasta yang terjadi
melalui pelelangan. Pengaturan ini disasari oleh keputusan Presiden tentang
APBN. Khususnya mengenai pelaksanaan pemborongan bangunan dan lampirannya.
Di dalam peraturan tersebut diatur tentang pelelangan
umum dan pelelangan terbatas beserta persyaratan-persyaratan yang berlaku bagi
pemborong yang mengikuti pelanggan. Disamping itu Pemerintah juga menganjurkan
tentang pengutamaan perusahaan setempat sebagai pelaksanaan pemborongan
bangunan serta pengusahaan bagi golongan ekonomi lemah.
2. Peraturan-peraturan yang menyangkut
perjanjiannya.
Dari
ketentuan-ketentuan yang tergolong bangunan, yaitu peraturan yang menyangkut
perjanjiannya didalam sertifikasi hukum perdata, perjanjian pemborongan
bangunan tergolong pada perjanjian untuk melakukan pekerjaan yang diatur dalam
bab yang mengatur tentang perjanjian khusus dalam KUHPer.
Di dalam KUHPer diatur mengenai ketentuan-ketentuan
umum tentang perjanjian yang berlaku terhadap semua perjanjian, yaitu
perjanjian-perjanjian jenis baru yang belum ada dalam peraturan
perundang-undangan. Disamping itu didalam
KUHPer diatur perjanjian khusus, yaitu perjanjian : yang telah dilazimkan
di pergunakan didalam praktek.
B. Aspek Hukum Bangunan
Pada dasarnya bangunan gedung memegang peranan yang
sangat penting sebagai tempat dimana manusia melakukan kegiatannya sehari-hari.
Pengaturan bangunan gedung secara khusus dituangkan dalam Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“UU Bangunan Gedung”). Pengetahuan
mengenai UU Bangunan Gedung ini menjadi penting mengingat hal-hal yang diatur
dalam UU Bangunan Gedung tidak hanya diperuntukan bagi pemilik bangunan gedung
melainkan juga bagi pengguna gedung serta masyarakat. Diatur dalam UU Bangunan
Gedung, pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau
perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung.
Secara umum UU Bangunan Gedung mengatur tentang
beberapa hal yaitu antara lain:
- Fungsi Bangunan Gedung
Dalam UU Bangunan Gedung diatur bahwa setiap bangunan
gedung memiliki fungsi antara lain fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan
budaya, serta fungsi khusus. Fungsi bangunan gedung ini yang nantinya akan
dicantumkan dalam Izin Mendirikan Bangunan (“IMB”). Dalam hal terdapat
perubahan fungsi bangunan gedung dari apa yang tertera dalam IMB, perubahan
tersebut wajib mendapatkan persetujuan dan penetapan kembali oleh Pemerintah
Daerah.
- Persyaratan Bangunan Gedung
Persyaratan bangunan gedung dapat dibagi menjadi 2
(dua) yaitu persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung dimana diatur
bahwa setiap bangunan gedung harus memenuhi kedua persyaratan tersebut.
1.
Yang masuk dalam ruang lingkup persyaratan
administratif bangunan gedung ini yaitu:
- persyaratan status hak atas tanah, dan/atau izin
pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;
- status kepemilikan bangunan gedung; dan
- izin mendirikan bangunan gedung.
2.
Sementara itu, persyaratan teknis bangunan gedung dapat
dibagi lagi menjadi 2 (dua) yaitu meliputi persyaratan tata bangunan dan
persyaratan keandalan bangunan gedung.
·
Ruang lingkup persyaratan tata bangunan yaitu
meliputi:
a)
Persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung,
yaitu berhubungan dengan persyaratan peruntukan lokasi bangunan gedung yang
tidak boleh mengganggu keseimbangan lingkungan, fungsi lindung kawasan,
dan/atau fungsi prasarana dan sarana umum, serta ketinggian gedung;
b)
Arsitektur bangunan gedung; dan
c)
Persyaratan pengendalian dampak lingkungan, yaitu
persyaratan pengendalian dampak lingkungan yang hanya berlaku bagi bangunan
gedung yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. Persyaratan
terhadap dampak lingkungan ini sendiri berpedoman pada undang-undang tentang pengelolaan
lingkungan hidup yang mengatur tentang kewajiban setiap usaha dan/atau kegiatan
yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup untuk wajib
memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk memperoleh izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan.
·
Persyaratan keandalan bangunan gedung,
persyaratan ini ditetapkan berdasarkan fungsi masing-masing bangunan gedung
yang secara umum meliputi persyaratan:
a)
keselamatan, yaitu berkenaan dengan persyaratan
kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatan, kemampuan bangunan
gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dengan melakukan
pengamanan terhadap bahaya kebakaran melalui sistem proteksi pasif dan/atau
proteksi aktif serta bahaya petir melalui sistem penangkal petir;
b)
kesehatan, yaitu berkenaan dengan persyaratan sistem
sirkulasi udara, pencahayaan, sanitasi, dan penggunaan bahan bangunan gedung;
c)
kenyamanan, yaitu berkenaan dengan kenyamanan ruang
gerak dan hubungan antar ruang, kondisi udara dalam ruang, pandangan, serta
tingkat getaran dan tingkat kebisingan; dan
d)
kemudahan, yaitu berkenaan dengan kemudahan akses
bangunan gedung, termasuk tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah,
aman, dan nyaman bagi penyandang cacat dan lanjut usia, serta penyediaan fasilitas
yang cukup untuk ruang ibadah, ruang ganti, ruangan bayi, toilet, tempat
parkir, tempat sampah, serta fasilitas komunikasi dan informasi.
- Penyelenggaraan Bangunan Gedung
Penyelenggaraan bangunan gedung tidak hanya terdiri
dari penggunaan bangunan gedung, melainkan juga meliputi kegiatan:
1.
Pembangunan, yang dilakukan oleh penyedia jasa
konstruksi melalui tahapan perencanaan dan pelaksanaan dengan diawasi
pembangunannya oleh pemilik bangunan gedung. Pembangunan bangunan gedung dapat
dilaksanakan setelah rencana teknis bangunan gedung disetujui oleh Pemerintah
Daerah dalam bentuk IMB. Pembangunan bangunan gedung ini sendiri dapat
dilakukan baik di tanah milik sendiri maupun di tanah milik pihak lain.
2.
Pemanfaatan, yang dilakukan oleh pemilik atau pengguna bangunan
gedung setelah bangunan gedung tersebut dinyatakan memenuhi persyaratan laik
fungsi. Bangunan gedung dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi apabila
telah memenuhi persyaratan teknis. Agar persyaratan laik fungsi suatu bangunan
gedung tetap terjaga, maka pemilik gedung atau pengguna bangunan gedung wajib
melakukan pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala terhadap
bangunan gedung.
3.
Pelestarian, yang dilakukan khusus untuk bangunan
gedung yang ditetapkan sebagai cagar budaya yang harus dilindungi dan
dilestarikan.
4.
Pembongkaran, alasan-alasan bangunan gedung dapat
dibongkar apabila bangunan gedung yang ada:
- tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki;
- dapat menimbulkan bahaya dalam pemanfaatan
bangunan gedung dan/atau lingkungannya;
- tidak memiliki IMB.
Selain mengatur tentang persyaratan bangunan gedung,
UU Bangunan gedung juga mengatur mengenai hak dan kewajiban pemilik bangunan.
1.
Pemilik bangunan gedung mempunyai hak yaitu antara
lain:
- melaksanakan pembangunan bangunan gedung setelah
mendapatkan pengesahan dari Pemerintah Daerah atas rencana teknis
bangunan gedung yang telah memenuhi persyaratan;
- mendapatkan surat
ketetapan serta insentif untuk bangunan gedung dan/atau lingkungan yang
dilindungi dan dilestarikan dari Pemerintah Daerah;
- mengubah fungsi bangunan setelah mendapat izin
tertulis dari Pemerintah Daerah;
- mendapatkan ganti rugi apabila bangunannya
dibongkar oleh Pemerintah Daerah atau pihak lain yang bukan diakibatkan
oleh kesalahannya.
2.
Pemilik bangunan gedung mempunyai kewajiban yaitu
antara lain:
- melaksanakan pembangunan sesuai dengan rencana
teknis bangunan gedung;
- memiliki IMB;
- meminta pengesahan dari Pemerintah Daerah atas
perubahan rencana teknis bangunan gedung pada tahap pelaksanaan bangunan.
3.
Pemilik dan pengguna bangunan gedung mempunyai hak
yaitu antara lain:
- mengetahui tata cara atau proses penyelenggaraan
bangunan gedung;
- mendapatkan keterangan tentang peruntukan lokasi
dan intensitas bangunan pada lokasi dan/atau ruang tempat bangunan akan
dibangun;
- mendapatkan keterangan tentang ketentuan
persyaratan keandalan dan kelayakan bangunan gedung;
- mendapatkan keterangan tentang bangunan gedung
dan/atau lingkungan yang harus dilindungi dan dilestarikan.
4.
Pemilik dan pengguna bangunan gedung mempunyai
kewajiban yaitu antara lain:
- memanfaatkan serta memelihara bangunan gedung
sesuai dengan fungsinya secara berkala;
- melengkapi petunjuk pelaksanaan pemanfaatan dan
pemeliharaan bangunan gedung;
- membongkar bangunan gedung yang telah ditetapkan
dapat mengganggu keselamatan dan ketertiban umum serta tidak memiliki
perizinan yang disyaratkan.
- Peran Masyarakat
Sebagai bagian dari pengguna bangunan gedung, dalam UU
Bangunan Gedung juga mengatur mengenai peran masyarakat dalam penyelenggaraan
bangunan gedung yang mencakup:
1.
pemantauan penyelenggaraan bangunan gedung;
2.
memberi masukan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah dalam penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis untuk
bangunan gedung;
3.
menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepada instansi
yang berwenang terhadap penyusunan rencana tata bangunan, rencana teknis
bangunan gedung dan kegiatan penyelenggaraan yang menimbulkan dampak penting
terhadap lingkungan;
4.
melaksanakan gugatan perwakilan terhadap bangunan
gedung yang mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan umum.
- Sanksi
Berkenaan dengan sanksi dalam hal adanya pelanggaran
atas UU Bangunan Gedung, pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung dapat
dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. Yang masuk dalam ruang
lingkup sanksi administratif yaitu dapat diberlakukan pencabutan IMB sampai
dengan pembongkaran bangunan gedung serta dapat dikenakan sanksi denda maksimal
10% (sepuluh persen) dari nilai bangunan yang sedang maupun telah dibangun.
Sedangkan sanksi pidana yang diatur dalam UU Bangunan Gedung ini dapat berupa
sanksi kurungan penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun penjara dan/atau pidana
denda paling banyak 20% (dua puluh persen) dari nilai bangunan gedung jika
karena kelalaiannya mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.
C. Tujuan Peraturan Hukum Bangunan
Arti pentingnya pengaturan perjanjian-perjanjian
khusus ini didalam undang-undang mempunyai 2 alasan :
1.
Karena didalam praktek dalam perjanjian yang
dibuat oleh pihak-pihak sering tidak mengatur mengenai akibat-akibat hukum yang
timbul kalau ada secara sumir pengaturannya.
Akibat yang seringterjadi dalam pelaksanaan perjanjian sering muncul
masalah-masalah yang tidak terjawab oleh ketentuan kontrak.
2.
Keputusan umum menghendaki bahwa dalam hal-hal
tertentu kebebasan berkontrak yang diberi oleh para pihak perlu dibatasi, yaitu
dengan jalan memberi ketentuan-ketantuan atau aturan-aturan yang bersifat
memaksa (dwinger recht) bagi perjanjian-perjanjian khusus tertentu.
Selain itu terhadap perjanjian-perjanjian yang
mengandung resiko didalam Undang-undang/KUHPer dikenal adanya bentuk-bentuk
perjanjian standart. Hal demikian dimaksudkan untuk menjamin adanya pemasukan
kewajiban secara baik bagi kedua belah pihak.
Beberapa kegiatan yang dilakukan sebelum perjanjian
pemborongan bangunan dibuat yang dikenal dengan prosedur pelelangan. Prosedur
pelelangan ini dimulai dengan pemberitahuan/pengumuman sampai pelulusan
pelanggan.
D. Tahap-tahap
Pelelangan :
- Pemberitahuan atau pengumuman secara umum/terbatas
tentang adanya pelelangan kemudian diikuti dengan penjelasan mengenai
pekerjaan tersebut sesuai dengan bertex dan persyaratan-persyaratan
pekerjaan.
Pengumuman adanya pelelangan umum/terbatas memuat petunjuk :
1.
Dimana bestek harus diambil,
2.
Dimana tentang pekerjaan akan disampaikan yang
memungkinkan adanya penambahan dan perubahan bestek yang telah disusun,
3.
Dimana tempat lokasi proyek/pekerjaan,
4.
Dimana tempat pendaftaran dan batas waktu pendaftaran,
5.
Dimana dan kapan sat pelelangan diadakan.
Terhadap pekerjaan-pekerjaan yang memungkinkan adanya perubahan2 pada
bestek biasanya disusun ditentukan bahwa pada pengumuman pelelangan harus
memuat hal-hal sebagai berikut :
1.
Nama instansi yang akan mengadakan pelelangan.
2.
Uraian singkat mengenai pekerjaan yang akan
dilaksanakan.
3.
orang yang akan diberi syarat-sayarat beserta
pelelangan.
4.
tempat, hari dan waktu untuk memperoleh dokumen lelang
dan keterangan-keterangan lainnya.
5.
tempat, hari dan waktu untuk diberikan penjelasan
mengenai dokumen lelang dan kekurangan-kekurangan lainnya.
6.
tempat, hari dan waktu pelelangan akan diadakan.
7.
temapt, hari dan batas waktu penyampaian surat
penawaran
8.
alamat kemana surat
penawaran harus disampaikan.
- Persyaratan-persyaratan prakwalifikasi, kwalifikasi
dan klasifikasi terhadap pemborong.
- Pemenuhan jaminan yang diwajibkan dalam
pemborongan bangunan seperti :
-
Jaminan tender
-
Jaminan pelaksana
-
Jaminan uang muka
-
Jaminan pemeliharaan
-
Jaminan pembangunan-pembangunan, kontrak, garansi.
-
Pencairan jaminan.
- Pelelangan
-
Pelelanmgan umum
-
Pelelangan terbatas
-
Cara menentukan pelelangan
E. Klasifikasi Pemborong
Dalam prosedur pemborong bangunan setelah adanya
pemberitahuan kepada pemborong baik dari undangan/pengumuman, maka sebelum ikat
penawaran/pelelangan baik umum atau terbatas maka pemborong disyaratkan
prakulifikasi terlebih dahulu.
Persyaratan prakualifikasi bertujuan untuk :
Memberi penilaian terhadap pemborong mengenai kemampuan/mutu pemborong.
Prakualifikasi disyaratkan khusus bagi pemborong yang ikut serta dalam
penawaran, pelelangan pemborongan bangunan.
Cara penilaian dilakukan dengan pengisian kuuisioner yang harus
diisi oleh pemborong yang membuat syarat-syarat tertentu.
Berdasarkan Kepres APPN khususnya tentang pemborongan bangunan ditentukan
syarat kualifikasi yang harus dipenuhi oleh pemborong.
Unsur-unsur disyaratkan untuk lulus dalam prakualifikasi adalah
sebagai berikut :
- Adanya akta pendirian perusahaan
- Adanya surat
izin usaha yang masih berlaku.
- Mempunyai NPWP
- Mempunyai alamat yang sah, nyata, jelas
- Referensi bank
- Mempunyai kemampuan modal usaha.
- Berada di keadaan mampu dan tidak dikatakan pailit
- Mempunyai referensi pekerjaan untuk bidangnya, maka
diprakuasifikasikan.
·
Pimpinan perusahaan tidak sebagai PNS
·
Syarat-syarat golongan pemborong/rekanan
- Pemberian kelonggaran bagi pemborong/rekanan
golongan lemah berupa pemberian bobot yang lebih tinggi kriteria pemberian
prakualifikasi.
Pernyataan lulus prakualifikasi berlaku jangka waktu 1 tahun dan dapat
diperpanjang selama 1 tahun.
F. Peraturan Jaminan dalam Perjanjian
Pemborongan
1. Jaminan Penawaran (Bid Bond)
Jaminan Penawaran/ jaminan tender/ jaminan pelelangan
diperlukan apabila rekanan mengikuti pelelangan proyek dengan nilai proyek di
atas Rp. 50 Juta. Maksud diadakan jaminan penawaran agar rekanan yang mengikuti
pelelangan betul-betul rekanan yang bonafid. Di dalam praktek, biasanya jaminan
sudah ditentukan besarnya dengan sejumlah uang tertentu yang besarnya berkisar
antara 1% sampai dengan 3% dari perkiraan harga penawaran.
Surat Jaminan penawaran yang habis waktunya sebelum
pelelangan diumumkan, harus diperpanjang lagi sebab kalau tidak rekanan
dianggap gugur. Surat jaminan
penawaran akan segera dikembalikan apabila rekanan kalah dalam pelelangan
dengan jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari setelah calon pemenang
pelelangan ditetapkan. Surat
jaminan penawaran akan menjadi milik negara apabila rekanan mengundurkan diri
setelah memasukkan dokumen penawaran dalam kotak pelelangan. Demikian juga surat
jaminan penawaran akan jatuh pada negara apabila rekanan yang menang
mengundurkan diri, maka surat
jaminan penawaran akan ditahan oleh pemberi tugas.
2. Jaminan Pelaksanaan (Performance Bond)
Jaminan Pelaksanaan tujuannya untuk menjamin
pelaksanaan dari proyek. Bagi rekanan yang menang dan tidak mengundurkan diri,
maka sebelum menandatangani surat perjanjian pemborongan/ kontrak di atas Rp.
50 Juta maka rekanan harus menyerahkan surat jaminan pelaksanaan sebesar 5%
dari nilai perjanjian pemborongan/ kontrak.
Pada saat surat
perjanjian pelaksanaan diterima, maka surat
penawaran yang ditahan akan dikembalikan kepada rekanan yang bersangkutan. Surat
jaminan pelaksanaan akan menjadi milik negara apabila rekanan tidak
melaksanakan pekerjaan/ penyerahan barang/ proyek dalam waktu yang telah
ditetapkan. Surat Perjanjian pelaksanaan dikembalikan kepada rekanan yang
bersangkutan setelah pelaksanaan pekerjaan/ penyerahan barang/hasil pekerjaan
telah sesuai dengan surat
perjanjian pemborongan/ kontrak, sering disebut dengan istilah penyerahan pertama.
3. Jaminan Uang Muka (Prepayment Bond)
Dalam surat
perjanjian pemborongan/ kontrak dapat dimuat mengenai pembayaran uang muka
sebesar 30% bagi rekanan golongan bukan ekonomi lemah. Mengenai pembayaran uang
muka biasanya sebelumnya dimuat dalam dokumen lelang.
Untuk memperoleh uang muka tersebut rekanan harus
menyerahkan jaminan uang muka yang nilainya sekurang-kurangnya sama dengan
besarnya uang muka. Uang muka harus sepenuhnya digunakan bagi pelaksanaan
proyek yang akan dikerjakan.
Pengembalian/ pelunasan uang muka diperhitungkan
berangsur secara merata pada tahap-tahap pembayaran (termijn) sesuai dengan surat
perjanjian pemborongan/ kontrak dengan ketentuan bahwa uang muka tersebut
selambat-lambatnya harus telah lunas pada saat pekerjaan mencapai prestasi
100%. Sebagai contoh pelunasan uang muka sebagai berikut: Jika rakanan
memperoleh uang muka sebesar 20%, sedangkan tahap pembayarannya dalam kontrak
ditetapkan: Tahap kesatu:20%, kedua: 30%, ketiga: 25%, keempat: 20%,dan
terakhir: 5%. Pelunasan uang muka pada sistim pembayaran diatas dapat
diterangkan berikut ini (lihat tabel 1).
Tabel 1. Pelunasan Uang Muka melalui Tahapan
Pembayaran (Termijn).
Prestasi
|
Tahap Pembayaran
|
Pembayaran
|
(00%)
20% (20%)
50% (30%)
75% (25%)
100% (25%)
100% (00%)
|
Uang muka 20% x 100%
I. 20%
20% - 20%x20% = 20% - 4%
II. 30%
30% - 30%x20% = 30% - 6%
III. 25% 25% - 25%x20% = 25% - 5%
IV. 20% 20% - 25%x20% = 20% - 5%
V. 5%
5% - 0%
|
= 20%
= 16%
= 24%
= 20%
=15%
=
5%
|
100%
|
100%
|
100%
|
Pelunasan uang muka selain dengan secara merata pada
tahap-tahap pembayaran sesuai dengan kontrak, dapat juga rekanan mempercepat
pelunasan uang muka yang diterimanya, misalnya sekaligus dilunasi pada tahap
pertama. Jika uang muka tidak dilunasi
pada saat pekerjaan mencapai prestasi 100% atau pada penyerahan pertama, maka surat
jaminan uang muka menjadi milik negara.
4. Jaminan Pemeliharaan (Maintenance Bond)
Pada waktu penyerahan pertama/ pekerjaan telah
mencapai 100%, rekanan baru menerima pembayaran 95% dari nilai kontrak,
sedangkan sisanya sebesar 5% masih ditahan pimpro dengan maksud agar rekanan
dalam masa pemeliharaan wajib melaksanakan perbaikan-perbaikan terhadap
kekurangan-kekurangan dari pekerjaan.
Yang dimaksud dengan masa pemeliharaan adalah masa
dari penyerahan pertama sampai dengan penyerahan kedua. Apabila rekanan
menginginkan 100% pembayran harga borongan pada waktu penyerahan pertama, maka
rekanan harus menyerahkan surat
jaminan pemeliharaan yang besarnya 5% dari harga kontrak/ borongan.
Surat
jaminan pemeliharaan jatuh pada negara bila rekanan tidak melaksanakan
kewajibannya, sedangkan surat jaminan
pemelihaan akan dikembalikan kepada rekanan apabila rekanan telah melaksanakan
kewajibannya dengan baik sampai penyerahan kedua maka surat
jaminan pemeliharaan dikembalikan kepada rekanan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat penulis simpulkan
bahwa Hukum bangunan adalah Ilmu yang mempelajari pelaksanaan pelaksanaa
bangunan ruang lingkupnya seluruh kegiatan pembangunan yang di lakukan
pemerintah khusus bangunan itu. Peraturan-peraturan tersebut dapat digolongkan
kepada 2 golongan yaitu Peraturan-peraturan
yang berkaitan dengan prosedur pelelangan dan Peraturan-peraturan yang
menyangkut perjanjiannya.
Pada dasarnya bangunan gedung memegang peranan yang
sangat penting sebagai tempat dimana manusia melakukan kegiatannya sehari-hari.
Pengaturan bangunan gedung secara khusus dituangkan dalam Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“UU Bangunan Gedung”).
Jaminan dalam Perjanjian Pemborongan dipandang dari
sudut keamanan pemilik proyek ternyata masih mengandung kelemahan terhadap
perlindungan pihak pemilik proyek. Kelemahan tersebut dikarenakan besaran
jaminan (sesuai aturan yang berlaku) masih belum mewakili sebagai “jaminan”,
atau tidak proporsional (relatif kecil) bila dibandingkan dengan total nilai
proyek yang dijamin.
Sebagai
upaya untuk memperbaiki praktek jasa konstruksi, terutama dalam memperbaiki
perlindungan terhadap pihak pemilik proyek yang sering dirugikan, perlu
dilakukan penyesuaian besaran jaminan terhadap prosentase nilai proyek.
B. Saran
Semua kegiatan yang memiliki dasar hukum harus kita
taat dan aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari agar tidak terkendala oleh
jebakan-jebakan hukum yang tidak kita sadari.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Djumaldi, “Dasar-Dasar Hukum Dalam Proyek dan Sumber
Daya Manusia”, Renaka Cipta, Yogyakarta, 1995.
2.
Keputusan Presiden nomor 16 Tahun 1994
3.
Undang-Undang No 7 Tahun 1992
4.
Undang-Undang Jasa Konstruksi No. 18 Tahun 1999