Wednesday, 3 February 2010

Wasiat Nabi Kepada Anaknya

(Ingatlah) ketika Tuhan berfirman kepadanya (Ibrahim), “Berserah dirilah!” Dia menjawab, “Aku berserah diri kepada Tuhan alam semesta Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’kub. “Wahai anak-anakku sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim. (QS Al-Baqarah: 131-132)

Al-Qu’an mendeskripsikan sosok Ibrahim as. bukan hanya sebagai nabi dan rasul saja, tetapi juga figur pemuda yang memiliki prinsip baja tak takut akan resiko. Beliau juga seorang ayah yang bijak dan peduli terhadap masa depan anaknya. Demikianlah Al-Qur’an menampilkan seorang tokoh secara eksplisit agar kaum muslimin bisa meneladaninya.

Kajian ini kita fokuskan pada poin terakhir, sosok Ibrahim as sebagai seorang ayah. Pada ayat di atas, tercermin perhatian Ibrahim as kepada anak-anaknya. Perhatian yang lebih dari sekedar menjadi ayah. Di sini, Ibrahim as mewasiatkan kalimat penting yang beliau terima dari Tuhannya, “Aslim ! atau berserah dirilah!” kalimat yang telah lama menghujam dan berakar di hati serta jiwa Ibrahim as ini ia sampaikan kepada keturunananya.

Kalimat ”berserah dirilah!” ialah makna dari kata ”beislamlah!”. Ibrahim as sedari dulu beragama Islam. Namun Allah SWT ingin menguatkan titah-Nya itu agar keyakinan Ibrahim as menghujam kuat. Dengan maksud itulah beliau ingin menegaskan kepada anak-anaknya akan pentingnya keislaman itu dan betapa penting meneguhkannya.

Lihatlah bagaimana sosok Ya’kub melakukan hal yang sama terhadap anak-anaknya. “Apakah kamu menjadi saksi saat maut menjemput Ya’kub, ketika itu dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail, dan Ishak (yaitu) Tuhan Yang maha Esa dan kami berserah diri pada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 133)

Agama Nabi Satu, Islam.

Sesungguhnya Islam yang kita peluk kini, adalah Islamnya para nabi dan rasul. Islam yang diwasiatkan Ibrahim, Yakub, Ismail, dan Ishaq kepada anak cucu mereka. Agama Islam ialah agama yang dipilih oleh Allah SWT bagi mereka. Pada hakikatnya Islamlah agama semua utusan Allah. Sabda Rasul SAW dari bu Hurairah:

"نحن معاشر الأنبياء إخوة لعلات، ديننا واحد"

"Kami sekalian nabi-nabi adalah saudara sebapak, agama kami adalah satu." (HR. Bukhari) Bagaimana mungkin Allah meridhai agama pada satu masa, lalu menolaknya pada masa yang lain. Mungkinkah Allah SWT menggantinya dengan agama dengan konsep Tauhid yang berbeda? Tidak mungkin.

Islam sebagai agama para nabi dan rasul telah diamini oleh para ulama. Ini berdsarkan firman Allah: “Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih.” (QS. Yunus: 19) Dalam Tafsirnya, Syaikh Muhammad Ali As-Shobuni menulis bahwa pada mulanya manusia itu beragama satu sejak zaman Adam sampai Nuh as., yaitu Islam. Lalu mereka berselisih hingga terpecah menjadi banyak kelompok dan golongan. Ibnu Abbas berkata, “Selisih antara Adam dan Nuh ialah 10 Abad, semuanya beragama Islam.” Lihat At_Tafsir Al-Wadih Al-Muyassar: 509. Jadi, mengklaim bahwa agama para nabi berbeda merupakan klaim yang mengada-ada.

Agama Anak adalah Tanggungjawab Orangtua

Demikianlah seorang ayah bersikap. Perhatian ayah seharusnya tidak pada masalah duniawi semata. Sebab, agama dan keyakinan anak jauh lebih urgen. Bila ayah bekerja semata-mata agar anak istrinya bisa makan, sungguh tidak beda dengan hewan ternak. Ayah yang muslim harus memiliki orientasi yang berbeda dengan ayah-ayah lainnya. Ayah yang muslim harus intens mendidik anak-anak mereka mengenal Allah SWT, rasul-Nya, dan agamanya.

Ibnu Qayyim berkata, “Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada anak tentang orangtuanya. Barangsiapa mengabaikan pendidikan anak dan menelantarkannya maka ia telah melakukan puncak keburukan. Kebanyakan kerusakan pada anak diakibatkan oleh orangtua yang mengabaikan mereka dan tidak mengajari mereka kewajiban agama dan Sunnah.”

Mendidik anak dengan baik wajib hukumnya. Menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan kepada sekolah, lalu orangtua di rumah tidak mengambil peran yang signifikan, tentu tidak dapat dibenarkan. Waktu belajar anak di sekolah tidak seberapa dibandingkan waktu yang ada di luar sekolah. Di sinilah peran orangtua. Diharapkan para orangtua tidak lepas kontrol terhadap anaknya. Pergaulannya patut dipantau. Tidak bisa dilepas begitu saja.

Ironisnya sebagian orangtua tidak menghiraukan bagaimana seharusnya berwasiat pada anak-anaknya. Atas dalih tidak mau mengekang hak anak, mereka diberi kebebasan menjalankan apapun yang diyakininya. Atas nama demokrasi, anak-anak terserah memilih jalan hidup. Orangtua hanya menyarankan. Malah mereka disupport dengan kalimat semacam, “Jalanilah apa yang kamu yakini benar.” Hasilnya, apapun bisa ditoleransi dalam keluarga demokratis seperti itu. Bahkan dalam urusan memilih agama sekalipun, tak jadi masalah.

Sesungguhnya anak-anak tumbuh berkembang sesuai dengan kebiasaan ayahnya (orangtua). Anak muda tidaklah beragama berdasarkan otaknya. Orang terdekatlah yang membentuk cara beragamanya. Bila anak sejak dini miskin nilai agama, ketika dewasa ia akan beragama dengan pengetahuan terbatas. Oleh karena itu, penting bagi orangtua mendidik anak-anak mereka dengan nilai-nilai Islami. Kelak itulah yang akan menjadi bekal baginya mengarungi kehidupan ini.

Oleh: Nurlaila Wahidah Izzi

No comments: