Saat itu tengah malam di kota Madinah. Kebanyakan warga kota sudah tidur. Umar bin Khatab r.a. berjalan menyelusuri jalan-jalan di kota. Dia coba untuk tidak melewatkan satupun dari pengamatannya. Menjelang dini hari, pria ini lelah dan memutuskan untuk beristirahat. Tanpa sengaja, terdengarlah olehnya percakapan antara ibu dan anak perempuannya dari dalam rumah dekat dia beristirahat.
“Nak, campurkanlah susu yang engkau perah tadi dengan air,” kata sang ibu.
“Jangan ibu. Amirul mukminin sudah membuat peraturan untuk tidak menjual susu yang dicampur air,” jawab sang anak.
“Tapi banyak orang melakukannya Nak, campurlah sedikit saja. Tho insyaallah Amirul Mukminin tidak mengetahuinya,” kata sang ibu mencoba meyakinkan anaknya.
“Ibu, Amirul Mukminin mungkin tidak mengetahuinya. Tapi, Rab dari Amirul Mukminin pasti melihatnya,” tegas si anak menolak.
Mendengar percakapan ini, berurailah air mata pria ini. Karena subuh menjelang, bersegeralah dia ke masjid untuk memimpin shalat Subuh. Sesampai di rumah, dipanggilah anaknya untuk menghadap dan berkata, “Wahai Ashim putra Umar bin Khattab. Sesungguhnya tadi malam saya mendengar percakapan istimewa. Pergilah kamu ke rumah si anu dan selidikilah keluarganya.”
Ashim bin Umar bin Khattab melaksanakan perintah ayahndanya yang tak lain memang Umar bin Khattab, Khalifah kedua yang bergelar Amirul Mukminin. Sekembalinya dari penyelidikan, dia menghadap ayahnya dan mendengar ayahnya berkata,
“Pergi dan temuilah mereka. Lamarlah anak gadisnya itu untuk menjadi isterimu. Aku lihat insyaallah ia akan memberi berkah kepadamu dan anak keturunanmu. Mudah-mudahan pula ia dapat memberi keturunan yang akan menjadi pemimpin bangsa.”
Begitulah, menikahlah Ashim bin Umar bin Khattab dengan anak gadis tersebut. Dari pernikahan ini, Umar bin Khattab dikaruniai cucu perempuan bernama Laila, yang nantinya dikenal dengan Ummi Ashim. Suatu malam setelah itu, Umar bermimpi. Dalam mimpinya dia melihat seorang pemuda dari keturunannya, bernama Umar, dengan kening yang cacat karena luka. Pemuda ini memimpin umat Islam seperti dia memimpin umat Islam. Mimpi ini diceritakan hanya kepada keluarganya saja. Saat Umar meninggal, cerita ini tetap terpendam di antara keluarganya.
Pada saat kakeknya Amirul Mukminin Umar bin Khattab terbunuh pada tahun 644 Masehi, Ummi Ashim turut menghadiri pemakamannya. Kemudian Ummi Ashim menjalani 12 tahun kekhalifahan Ustman bin Affan sampai terbunuh pada tahun 656 Maserhi. Setelah itu, Ummi Ashim juga ikut menyaksikan 5 tahun kekhalifahan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Hingga akhirnya Muawiyah berkuasa dan mendirikan Dinasti Umayyah.
Pergantian sistem kekhalifahan ke sistem dinasti ini sangat berdampak pada Negara Islam saat itu. Penguasa mulai memerintah dalam kemewahan. Setelah penguasa yang mewah, penyakit-penyakit yang lain mulai tumbuh dan bersemi. Ambisi kekuasaan dan kekuatan, penumpukan kekayaan, dan korupsi mewarnai sejarah Islam dalam Dinasti Umayyah. Negara bertambah luas, penduduk bertambah banyak, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang, tapi orang-orang semakin merindukan ukhuwah persaudaraan, keadilan dan kesahajaan Ali, Utsman, Umar, dan Abu Bakar. Status kaya-miskin mulai terlihat jelas, posisi pejabat-rakyat mulai terasa. Kafir dhimni pun mengeluhkan resahnya, “Sesungguhnya kami merindukan Umar, dia datang ke sini menanyakan kabar dan bisnis kami. Dia tanyakan juga apakah ada hukum-hukumnya yang merugikan kami. Kami ikhlas membayar pajak berapapun yang dia minta. Sekarang, kami membayar pajak karena takut.”
Kemudian Muawiyah membaiat anaknya Yazid bin Muawiyah menjadi penggantinya. Tindakan Muawiyah ini adalah awal malapetaka dinasti Umayyah yang dia buat sendiri. Yazid bukanlah seorang amir yang semestinya. Kezaliman dilegalkan dan tindakannya yang paling disesali adalah membunuh sahabat-sahabat Rasul serta cucunya Husein bin Ali bin Abi Thalib. Yazid mati menggenaskan tiga hari setelah dia membunuh Husein.
Akan tetapi, putra Yazid, Muawiyah bin Yazid, adalah seorang ahli ibadah. Dia menyadari kesalahan kakeknya dan ayahnya dan menolak menggantikan ayahnya. Dia memilih pergi dan singgasana dinasti Umayah kosong. Terjadilah rebutan kekuasaan dikalangan bani Umayah. Abdullah bin Zubeir, seorang sahabat utama Rasulullah dicalonkan untuk menjadi amirul mukminin. Namun, kelicikan mengantarkan Marwan bin Hakam, bani Umayah dari keluarga Hakam, untuk mengisi posisi kosong itu dan meneruskan sistem dinasti. Marwan bin Hakam memimpin selama sepuluh tahun lebih dan lebih zalim daripada Yazid.
Wednesday, 24 February 2010
Saat itu tengah malam di kota Madinah. Kebanyakan warga kota sudah tidur. Umar bin Khatab r.a. berjalan menyelusuri jalan-jalan di kota. Dia coba untuk tidak melewatkan satupun dari pengamatannya. Menjelang dini hari, pria ini lelah dan memutuskan untuk beristirahat. Tanpa sengaja, terdengarlah olehnya percakapan antara ibu dan anak perempuannya dari dalam rumah dekat dia beristirahat.
“Nak, campurkanlah susu yang engkau perah tadi dengan air,” kata sang ibu.
“Jangan ibu. Amirul mukminin sudah membuat peraturan untuk tidak menjual susu yang dicampur air,” jawab sang anak.
“Tapi banyak orang melakukannya Nak, campurlah sedikit saja. Tho insyaallah Amirul Mukminin tidak mengetahuinya,” kata sang ibu mencoba meyakinkan anaknya.
“Ibu, Amirul Mukminin mungkin tidak mengetahuinya. Tapi, Rab dari Amirul Mukminin pasti melihatnya,” tegas si anak menolak.
Mendengar percakapan ini, berurailah air mata pria ini. Karena subuh menjelang, bersegeralah dia ke masjid untuk memimpin shalat Subuh. Sesampai di rumah, dipanggilah anaknya untuk menghadap dan berkata, “Wahai Ashim putra Umar bin Khattab. Sesungguhnya tadi malam saya mendengar percakapan istimewa. Pergilah kamu ke rumah si anu dan selidikilah keluarganya.”
Ashim bin Umar bin Khattab melaksanakan perintah ayahndanya yang tak lain memang Umar bin Khattab, Khalifah kedua yang bergelar Amirul Mukminin. Sekembalinya dari penyelidikan, dia menghadap ayahnya dan mendengar ayahnya berkata,
“Pergi dan temuilah mereka. Lamarlah anak gadisnya itu untuk menjadi isterimu. Aku lihat insyaallah ia akan memberi berkah kepadamu dan anak keturunanmu. Mudah-mudahan pula ia dapat memberi keturunan yang akan menjadi pemimpin bangsa.”
Begitulah, menikahlah Ashim bin Umar bin Khattab dengan anak gadis tersebut. Dari pernikahan ini, Umar bin Khattab dikaruniai cucu perempuan bernama Laila, yang nantinya dikenal dengan Ummi Ashim. Suatu malam setelah itu, Umar bermimpi. Dalam mimpinya dia melihat seorang pemuda dari keturunannya, bernama Umar, dengan kening yang cacat karena luka. Pemuda ini memimpin umat Islam seperti dia memimpin umat Islam. Mimpi ini diceritakan hanya kepada keluarganya saja. Saat Umar meninggal, cerita ini tetap terpendam di antara keluarganya.
Pada saat kakeknya Amirul Mukminin Umar bin Khattab terbunuh pada tahun 644 Masehi, Ummi Ashim turut menghadiri pemakamannya. Kemudian Ummi Ashim menjalani 12 tahun kekhalifahan Ustman bin Affan sampai terbunuh pada tahun 656 Maserhi. Setelah itu, Ummi Ashim juga ikut menyaksikan 5 tahun kekhalifahan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Hingga akhirnya Muawiyah berkuasa dan mendirikan Dinasti Umayyah.
Pergantian sistem kekhalifahan ke sistem dinasti ini sangat berdampak pada Negara Islam saat itu. Penguasa mulai memerintah dalam kemewahan. Setelah penguasa yang mewah, penyakit-penyakit yang lain mulai tumbuh dan bersemi. Ambisi kekuasaan dan kekuatan, penumpukan kekayaan, dan korupsi mewarnai sejarah Islam dalam Dinasti Umayyah. Negara bertambah luas, penduduk bertambah banyak, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang, tapi orang-orang semakin merindukan ukhuwah persaudaraan, keadilan dan kesahajaan Ali, Utsman, Umar, dan Abu Bakar. Status kaya-miskin mulai terlihat jelas, posisi pejabat-rakyat mulai terasa. Kafir dhimni pun mengeluhkan resahnya, “Sesungguhnya kami merindukan Umar, dia datang ke sini menanyakan kabar dan bisnis kami. Dia tanyakan juga apakah ada hukum-hukumnya yang merugikan kami. Kami ikhlas membayar pajak berapapun yang dia minta. Sekarang, kami membayar pajak karena takut.”
Kemudian Muawiyah membaiat anaknya Yazid bin Muawiyah menjadi penggantinya. Tindakan Muawiyah ini adalah awal malapetaka dinasti Umayyah yang dia buat sendiri. Yazid bukanlah seorang amir yang semestinya. Kezaliman dilegalkan dan tindakannya yang paling disesali adalah membunuh sahabat-sahabat Rasul serta cucunya Husein bin Ali bin Abi Thalib. Yazid mati menggenaskan tiga hari setelah dia membunuh Husein.
Akan tetapi, putra Yazid, Muawiyah bin Yazid, adalah seorang ahli ibadah. Dia menyadari kesalahan kakeknya dan ayahnya dan menolak menggantikan ayahnya. Dia memilih pergi dan singgasana dinasti Umayah kosong. Terjadilah rebutan kekuasaan dikalangan bani Umayah. Abdullah bin Zubeir, seorang sahabat utama Rasulullah dicalonkan untuk menjadi amirul mukminin. Namun, kelicikan mengantarkan Marwan bin Hakam, bani Umayah dari keluarga Hakam, untuk mengisi posisi kosong itu dan meneruskan sistem dinasti. Marwan bin Hakam memimpin selama sepuluh tahun lebih dan lebih zalim daripada Yazid.
“Nak, campurkanlah susu yang engkau perah tadi dengan air,” kata sang ibu.
“Jangan ibu. Amirul mukminin sudah membuat peraturan untuk tidak menjual susu yang dicampur air,” jawab sang anak.
“Tapi banyak orang melakukannya Nak, campurlah sedikit saja. Tho insyaallah Amirul Mukminin tidak mengetahuinya,” kata sang ibu mencoba meyakinkan anaknya.
“Ibu, Amirul Mukminin mungkin tidak mengetahuinya. Tapi, Rab dari Amirul Mukminin pasti melihatnya,” tegas si anak menolak.
Mendengar percakapan ini, berurailah air mata pria ini. Karena subuh menjelang, bersegeralah dia ke masjid untuk memimpin shalat Subuh. Sesampai di rumah, dipanggilah anaknya untuk menghadap dan berkata, “Wahai Ashim putra Umar bin Khattab. Sesungguhnya tadi malam saya mendengar percakapan istimewa. Pergilah kamu ke rumah si anu dan selidikilah keluarganya.”
Ashim bin Umar bin Khattab melaksanakan perintah ayahndanya yang tak lain memang Umar bin Khattab, Khalifah kedua yang bergelar Amirul Mukminin. Sekembalinya dari penyelidikan, dia menghadap ayahnya dan mendengar ayahnya berkata,
“Pergi dan temuilah mereka. Lamarlah anak gadisnya itu untuk menjadi isterimu. Aku lihat insyaallah ia akan memberi berkah kepadamu dan anak keturunanmu. Mudah-mudahan pula ia dapat memberi keturunan yang akan menjadi pemimpin bangsa.”
Begitulah, menikahlah Ashim bin Umar bin Khattab dengan anak gadis tersebut. Dari pernikahan ini, Umar bin Khattab dikaruniai cucu perempuan bernama Laila, yang nantinya dikenal dengan Ummi Ashim. Suatu malam setelah itu, Umar bermimpi. Dalam mimpinya dia melihat seorang pemuda dari keturunannya, bernama Umar, dengan kening yang cacat karena luka. Pemuda ini memimpin umat Islam seperti dia memimpin umat Islam. Mimpi ini diceritakan hanya kepada keluarganya saja. Saat Umar meninggal, cerita ini tetap terpendam di antara keluarganya.
Pada saat kakeknya Amirul Mukminin Umar bin Khattab terbunuh pada tahun 644 Masehi, Ummi Ashim turut menghadiri pemakamannya. Kemudian Ummi Ashim menjalani 12 tahun kekhalifahan Ustman bin Affan sampai terbunuh pada tahun 656 Maserhi. Setelah itu, Ummi Ashim juga ikut menyaksikan 5 tahun kekhalifahan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Hingga akhirnya Muawiyah berkuasa dan mendirikan Dinasti Umayyah.
Pergantian sistem kekhalifahan ke sistem dinasti ini sangat berdampak pada Negara Islam saat itu. Penguasa mulai memerintah dalam kemewahan. Setelah penguasa yang mewah, penyakit-penyakit yang lain mulai tumbuh dan bersemi. Ambisi kekuasaan dan kekuatan, penumpukan kekayaan, dan korupsi mewarnai sejarah Islam dalam Dinasti Umayyah. Negara bertambah luas, penduduk bertambah banyak, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang, tapi orang-orang semakin merindukan ukhuwah persaudaraan, keadilan dan kesahajaan Ali, Utsman, Umar, dan Abu Bakar. Status kaya-miskin mulai terlihat jelas, posisi pejabat-rakyat mulai terasa. Kafir dhimni pun mengeluhkan resahnya, “Sesungguhnya kami merindukan Umar, dia datang ke sini menanyakan kabar dan bisnis kami. Dia tanyakan juga apakah ada hukum-hukumnya yang merugikan kami. Kami ikhlas membayar pajak berapapun yang dia minta. Sekarang, kami membayar pajak karena takut.”
Kemudian Muawiyah membaiat anaknya Yazid bin Muawiyah menjadi penggantinya. Tindakan Muawiyah ini adalah awal malapetaka dinasti Umayyah yang dia buat sendiri. Yazid bukanlah seorang amir yang semestinya. Kezaliman dilegalkan dan tindakannya yang paling disesali adalah membunuh sahabat-sahabat Rasul serta cucunya Husein bin Ali bin Abi Thalib. Yazid mati menggenaskan tiga hari setelah dia membunuh Husein.
Akan tetapi, putra Yazid, Muawiyah bin Yazid, adalah seorang ahli ibadah. Dia menyadari kesalahan kakeknya dan ayahnya dan menolak menggantikan ayahnya. Dia memilih pergi dan singgasana dinasti Umayah kosong. Terjadilah rebutan kekuasaan dikalangan bani Umayah. Abdullah bin Zubeir, seorang sahabat utama Rasulullah dicalonkan untuk menjadi amirul mukminin. Namun, kelicikan mengantarkan Marwan bin Hakam, bani Umayah dari keluarga Hakam, untuk mengisi posisi kosong itu dan meneruskan sistem dinasti. Marwan bin Hakam memimpin selama sepuluh tahun lebih dan lebih zalim daripada Yazid.
Wednesday, 3 February 2010
Wasiat Nabi Kepada Anaknya
(Ingatlah) ketika Tuhan berfirman kepadanya (Ibrahim), “Berserah dirilah!” Dia menjawab, “Aku berserah diri kepada Tuhan alam semesta Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’kub. “Wahai anak-anakku sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim. (QS Al-Baqarah: 131-132)
Al-Qu’an mendeskripsikan sosok Ibrahim as. bukan hanya sebagai nabi dan rasul saja, tetapi juga figur pemuda yang memiliki prinsip baja tak takut akan resiko. Beliau juga seorang ayah yang bijak dan peduli terhadap masa depan anaknya. Demikianlah Al-Qur’an menampilkan seorang tokoh secara eksplisit agar kaum muslimin bisa meneladaninya.
Kajian ini kita fokuskan pada poin terakhir, sosok Ibrahim as sebagai seorang ayah. Pada ayat di atas, tercermin perhatian Ibrahim as kepada anak-anaknya. Perhatian yang lebih dari sekedar menjadi ayah. Di sini, Ibrahim as mewasiatkan kalimat penting yang beliau terima dari Tuhannya, “Aslim ! atau berserah dirilah!” kalimat yang telah lama menghujam dan berakar di hati serta jiwa Ibrahim as ini ia sampaikan kepada keturunananya.
Kalimat ”berserah dirilah!” ialah makna dari kata ”beislamlah!”. Ibrahim as sedari dulu beragama Islam. Namun Allah SWT ingin menguatkan titah-Nya itu agar keyakinan Ibrahim as menghujam kuat. Dengan maksud itulah beliau ingin menegaskan kepada anak-anaknya akan pentingnya keislaman itu dan betapa penting meneguhkannya.
Lihatlah bagaimana sosok Ya’kub melakukan hal yang sama terhadap anak-anaknya. “Apakah kamu menjadi saksi saat maut menjemput Ya’kub, ketika itu dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail, dan Ishak (yaitu) Tuhan Yang maha Esa dan kami berserah diri pada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 133)
Agama Nabi Satu, Islam.
Sesungguhnya Islam yang kita peluk kini, adalah Islamnya para nabi dan rasul. Islam yang diwasiatkan Ibrahim, Yakub, Ismail, dan Ishaq kepada anak cucu mereka. Agama Islam ialah agama yang dipilih oleh Allah SWT bagi mereka. Pada hakikatnya Islamlah agama semua utusan Allah. Sabda Rasul SAW dari bu Hurairah:
"نحن معاشر الأنبياء إخوة لعلات، ديننا واحد"
"Kami sekalian nabi-nabi adalah saudara sebapak, agama kami adalah satu." (HR. Bukhari) Bagaimana mungkin Allah meridhai agama pada satu masa, lalu menolaknya pada masa yang lain. Mungkinkah Allah SWT menggantinya dengan agama dengan konsep Tauhid yang berbeda? Tidak mungkin.
Islam sebagai agama para nabi dan rasul telah diamini oleh para ulama. Ini berdsarkan firman Allah: “Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih.” (QS. Yunus: 19) Dalam Tafsirnya, Syaikh Muhammad Ali As-Shobuni menulis bahwa pada mulanya manusia itu beragama satu sejak zaman Adam sampai Nuh as., yaitu Islam. Lalu mereka berselisih hingga terpecah menjadi banyak kelompok dan golongan. Ibnu Abbas berkata, “Selisih antara Adam dan Nuh ialah 10 Abad, semuanya beragama Islam.” Lihat At_Tafsir Al-Wadih Al-Muyassar: 509. Jadi, mengklaim bahwa agama para nabi berbeda merupakan klaim yang mengada-ada.
Agama Anak adalah Tanggungjawab Orangtua
Demikianlah seorang ayah bersikap. Perhatian ayah seharusnya tidak pada masalah duniawi semata. Sebab, agama dan keyakinan anak jauh lebih urgen. Bila ayah bekerja semata-mata agar anak istrinya bisa makan, sungguh tidak beda dengan hewan ternak. Ayah yang muslim harus memiliki orientasi yang berbeda dengan ayah-ayah lainnya. Ayah yang muslim harus intens mendidik anak-anak mereka mengenal Allah SWT, rasul-Nya, dan agamanya.
Ibnu Qayyim berkata, “Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada anak tentang orangtuanya. Barangsiapa mengabaikan pendidikan anak dan menelantarkannya maka ia telah melakukan puncak keburukan. Kebanyakan kerusakan pada anak diakibatkan oleh orangtua yang mengabaikan mereka dan tidak mengajari mereka kewajiban agama dan Sunnah.”
Mendidik anak dengan baik wajib hukumnya. Menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan kepada sekolah, lalu orangtua di rumah tidak mengambil peran yang signifikan, tentu tidak dapat dibenarkan. Waktu belajar anak di sekolah tidak seberapa dibandingkan waktu yang ada di luar sekolah. Di sinilah peran orangtua. Diharapkan para orangtua tidak lepas kontrol terhadap anaknya. Pergaulannya patut dipantau. Tidak bisa dilepas begitu saja.
Ironisnya sebagian orangtua tidak menghiraukan bagaimana seharusnya berwasiat pada anak-anaknya. Atas dalih tidak mau mengekang hak anak, mereka diberi kebebasan menjalankan apapun yang diyakininya. Atas nama demokrasi, anak-anak terserah memilih jalan hidup. Orangtua hanya menyarankan. Malah mereka disupport dengan kalimat semacam, “Jalanilah apa yang kamu yakini benar.” Hasilnya, apapun bisa ditoleransi dalam keluarga demokratis seperti itu. Bahkan dalam urusan memilih agama sekalipun, tak jadi masalah.
Sesungguhnya anak-anak tumbuh berkembang sesuai dengan kebiasaan ayahnya (orangtua). Anak muda tidaklah beragama berdasarkan otaknya. Orang terdekatlah yang membentuk cara beragamanya. Bila anak sejak dini miskin nilai agama, ketika dewasa ia akan beragama dengan pengetahuan terbatas. Oleh karena itu, penting bagi orangtua mendidik anak-anak mereka dengan nilai-nilai Islami. Kelak itulah yang akan menjadi bekal baginya mengarungi kehidupan ini.
Oleh: Nurlaila Wahidah Izzi
Kajian ini kita fokuskan pada poin terakhir, sosok Ibrahim as sebagai seorang ayah. Pada ayat di atas, tercermin perhatian Ibrahim as kepada anak-anaknya. Perhatian yang lebih dari sekedar menjadi ayah. Di sini, Ibrahim as mewasiatkan kalimat penting yang beliau terima dari Tuhannya, “Aslim ! atau berserah dirilah!” kalimat yang telah lama menghujam dan berakar di hati serta jiwa Ibrahim as ini ia sampaikan kepada keturunananya.
Kalimat ”berserah dirilah!” ialah makna dari kata ”beislamlah!”. Ibrahim as sedari dulu beragama Islam. Namun Allah SWT ingin menguatkan titah-Nya itu agar keyakinan Ibrahim as menghujam kuat. Dengan maksud itulah beliau ingin menegaskan kepada anak-anaknya akan pentingnya keislaman itu dan betapa penting meneguhkannya.
Lihatlah bagaimana sosok Ya’kub melakukan hal yang sama terhadap anak-anaknya. “Apakah kamu menjadi saksi saat maut menjemput Ya’kub, ketika itu dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail, dan Ishak (yaitu) Tuhan Yang maha Esa dan kami berserah diri pada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 133)
Agama Nabi Satu, Islam.
Sesungguhnya Islam yang kita peluk kini, adalah Islamnya para nabi dan rasul. Islam yang diwasiatkan Ibrahim, Yakub, Ismail, dan Ishaq kepada anak cucu mereka. Agama Islam ialah agama yang dipilih oleh Allah SWT bagi mereka. Pada hakikatnya Islamlah agama semua utusan Allah. Sabda Rasul SAW dari bu Hurairah:
"نحن معاشر الأنبياء إخوة لعلات، ديننا واحد"
"Kami sekalian nabi-nabi adalah saudara sebapak, agama kami adalah satu." (HR. Bukhari) Bagaimana mungkin Allah meridhai agama pada satu masa, lalu menolaknya pada masa yang lain. Mungkinkah Allah SWT menggantinya dengan agama dengan konsep Tauhid yang berbeda? Tidak mungkin.
Islam sebagai agama para nabi dan rasul telah diamini oleh para ulama. Ini berdsarkan firman Allah: “Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih.” (QS. Yunus: 19) Dalam Tafsirnya, Syaikh Muhammad Ali As-Shobuni menulis bahwa pada mulanya manusia itu beragama satu sejak zaman Adam sampai Nuh as., yaitu Islam. Lalu mereka berselisih hingga terpecah menjadi banyak kelompok dan golongan. Ibnu Abbas berkata, “Selisih antara Adam dan Nuh ialah 10 Abad, semuanya beragama Islam.” Lihat At_Tafsir Al-Wadih Al-Muyassar: 509. Jadi, mengklaim bahwa agama para nabi berbeda merupakan klaim yang mengada-ada.
Agama Anak adalah Tanggungjawab Orangtua
Demikianlah seorang ayah bersikap. Perhatian ayah seharusnya tidak pada masalah duniawi semata. Sebab, agama dan keyakinan anak jauh lebih urgen. Bila ayah bekerja semata-mata agar anak istrinya bisa makan, sungguh tidak beda dengan hewan ternak. Ayah yang muslim harus memiliki orientasi yang berbeda dengan ayah-ayah lainnya. Ayah yang muslim harus intens mendidik anak-anak mereka mengenal Allah SWT, rasul-Nya, dan agamanya.
Ibnu Qayyim berkata, “Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada anak tentang orangtuanya. Barangsiapa mengabaikan pendidikan anak dan menelantarkannya maka ia telah melakukan puncak keburukan. Kebanyakan kerusakan pada anak diakibatkan oleh orangtua yang mengabaikan mereka dan tidak mengajari mereka kewajiban agama dan Sunnah.”
Mendidik anak dengan baik wajib hukumnya. Menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan kepada sekolah, lalu orangtua di rumah tidak mengambil peran yang signifikan, tentu tidak dapat dibenarkan. Waktu belajar anak di sekolah tidak seberapa dibandingkan waktu yang ada di luar sekolah. Di sinilah peran orangtua. Diharapkan para orangtua tidak lepas kontrol terhadap anaknya. Pergaulannya patut dipantau. Tidak bisa dilepas begitu saja.
Ironisnya sebagian orangtua tidak menghiraukan bagaimana seharusnya berwasiat pada anak-anaknya. Atas dalih tidak mau mengekang hak anak, mereka diberi kebebasan menjalankan apapun yang diyakininya. Atas nama demokrasi, anak-anak terserah memilih jalan hidup. Orangtua hanya menyarankan. Malah mereka disupport dengan kalimat semacam, “Jalanilah apa yang kamu yakini benar.” Hasilnya, apapun bisa ditoleransi dalam keluarga demokratis seperti itu. Bahkan dalam urusan memilih agama sekalipun, tak jadi masalah.
Sesungguhnya anak-anak tumbuh berkembang sesuai dengan kebiasaan ayahnya (orangtua). Anak muda tidaklah beragama berdasarkan otaknya. Orang terdekatlah yang membentuk cara beragamanya. Bila anak sejak dini miskin nilai agama, ketika dewasa ia akan beragama dengan pengetahuan terbatas. Oleh karena itu, penting bagi orangtua mendidik anak-anak mereka dengan nilai-nilai Islami. Kelak itulah yang akan menjadi bekal baginya mengarungi kehidupan ini.
Oleh: Nurlaila Wahidah Izzi
Subscribe to:
Posts (Atom)